Karakteristik
- Pajak tidak langsung, maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
- Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan distribusi.
- Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.
- Menghindari pengenaan pajak berganda.
- Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu dengan memperhitungkan besaran pajak masukan
KARAKTERISTIK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Sebagai pajak yang dikenakan terhadap kegiatan konsumsi, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Pajak Obyektif
PPN tergolong sebagai pajak yang obyektif, karena penekanannya mula-mula kepada obyeknya terlebih dahulu, baru kemudian kepada subyeknya. Siapapun subyeknya (masyarakat yang mampu maupun yang kurang mampu), akan dikenakan PPN, selama mereka mengonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, di dalam daerah pabean. Perlakuan PPN yang sama terhadap semua kelompok masyarakat inilah, baik yang miskin maupun yang kaya, yang menimbulkan sifat tidak adil. Kelemahan ini kemudian diatasi dengan pemberian pajak tambahan yaitu Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) terhadap konsumsi atas BKP tertentu yang digolongkan oleh pemerintah sebagai BKP mewah, yang umumnya hanya dikonsumsi oleh golongan masyarakat yang telah mampu secara ekonomi.
2. Mekanisme Pengkreditan
Setiap akhir masa pajak, Pengusaha Kena Pajak akan melaporkan SPT Masa PPN yang merupakan tempat untuk mempertandingkan antara Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan. Pajak Masukan menimbulkan aliran uang keluar atau cash outflow, sedangkan pajak keluaran menimbulkan aliran uang masuk atau cash inflow. Pajak Masukan merupakan uang muka pajak, sedangkan pajak keluaran merupakan hutang pajak. Saldo keduanya akan saling dioffset, di dalam SPT Masa PPN, setelah masa pajak berakhir, dan akan menghasilkan tiga kemungkinan: Pertama, akan menghasilkan kekurangan pembayaran pajak apabila jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow melebihi jumlah Pajak masukan atau Cash Outflow; Kedua, akan menghasilkan kelebihan pembayaran pajak apabila jumlah Pajak Masukan atau Cash Outflow melebihi jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow. Ketiga, akan menghasilkan jumlah nihil apabila jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow sama dengan jumlah Pajak Masukan atau Cash Outflow.
Pemahaman mengenai cash inflow untuk Pajak Keluaran dan Cash Outflow untuk Pajak Masukan ini menjelaskan mengapa untuk transaksi penyerahan BKP/JKP kepada Instansi Pemerintah dan ekspor akan menimbulkan kelebihan bayar PPN. Hal ini dikarenakan Pajak Keluarannya tidak menimbulkan uang masuk (cash inflow), yang akan bertanding dengan Pajak Masukan yang telah menimbulkan aliran uang keluar (cash outflow). Tetapi, untuk transaksi-transaksi tertentu yang TIDAK PERNAH menimbulkan Pajak Keluaran sehingga tidak menimbulkan aliran uang masuk (zero cash inflow), Pajak Masukannya (cash outflow) juga tidak dapat dikreditkan, yaitu, pertama, transaksi penyerahan bukan Barang Kena Pajak atau bukan Jasa Kena Pajak yang tidak terutang PPN. Kedua, transaksi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas di bidang PPN, seperti penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapat fasilitas PPN dibebaskan, ditunda, ditangguhkan, atau ditanggung pemerintah. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai.
3. Pemindahan Beban Pajak
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dilakukan secara berjenjang, yaitu dari satu mata rantai produksi atau distribusi kepada mata rantai distribusi berikutnya. Pajak Pertambahan Nilai akan dikenakan di setiap mata rantai distribusi tersebut (apabila syarat-syaratnya terpenuhi), kecuali untuk penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang hanya dikenakan PPN sekali meskipun mata rantai distribusinya panjang, misalnya rokok dan kaset rekaman yang pengenaan PPN-nya menggunakan mekanisme penebusan pita cukai. Dengan menggunakan mekanisme pengkreditan antara Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran, pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena pajak, sama sekali tidak terbebani secara ekonomi dengan Pajak Pertambahan Nilai, selama status mereka adalah Pengusaha Kena Pajak dan PPN tersebut dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Beban PPN dapat dipindahkan kepada pihak yang menjadi mata rantai distribusi berikutnya, dengan cara mengkreditkan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran. Pemindahan beban pajak ini berlangsung dari satu mata rantai distribusi kepada mata rantai distribusi berikutnya, sedemikian rupa sehingga, pihak yang menjadi mata rantai distribusi berikutnya tersebut tidak dapat mengkreditkannya dengan Pajak Keluaran. Ketika pihak yang menjadi mata rantai distribusi berikutnya tersebut tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan, maka pihak tersebutlah yang menanggung secara ekonomi beban PPN.
Catatan: Meskipun secara umum pengenaan PPN dilakukan berjenjang, yang artinya di setiap mata rantai distribusi yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak akan mengenakan PPN, terdapat Barang Kena Pajak tertentu yang pengenaan PPN-nya hanya satu kali (hanya di tingkat pabrikan) meskipun melalui beberapa mata rantai distribusi, yaitu Barang Kena Pajak tertentu yang pengenaan PPN-nya menggunakan mekanisme penebusan pita cukai, seperti rokok dan kaset rekaman. Bagi Wajib pajak yang hanya bertindak sebagai distributor Barang Kena Pajak tertentu yang pengenaan PPN-nya hanya satu kali, yaitu yang menggunakan mekanisme penebusan pita cukai, tidak diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
4. Faktur Pajak
Faktur pajak merupakan dokumen yang menjadi bukti pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Faktur pajak ini merupakan ciri utama pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Bukti adanya Pajak Keluaran adalah berupa Faktur Pajak, dan demikian pula bukti adanya Pajak Masukan yang juga berupa Faktur Pajak. Pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran yang terjadi setiap akhir masa pajak di dalam SPT Masa PPN, pada hakekatnya merupakan kegiatan membandingkan antar faktur pajak
0 komentar:
Posting Komentar