ABSTRAK
Sebagai negara yang menganut ekonomi terbuka, Indonesia memiliki masalah inflasi dari tahun ke tahun. Sementara pencatatan akuntansi di Indonesia umumnya menganut Historical Cost, dimana konsep ini tidak mengenal adanya perubahan seperti pengaruh inflasi tetapi stable monetary unit yang mengakibatkan semua transaksi yang terjadi dicatat atas dasar nilai historis atau nilai yang didapat saat terjadi transaksi. Ini menyebabkan dilemma relevansi laporan keuangan perusahaan. Untuk para investor dan pemain saham, untuk mengetahui ketahanan perusahaan untuk menghadapi persaingan dan moneter yang tidak dapat diprediksi, laporan tambahan berupa General Price Level accounting atau dikenal sebagai Akuntansi tingkat harga umum sangat dibutuhkan. Konsep ini menyatakan bahwa nilai sesungguhnya dari Rupiah (disingkat Rp) ditentukan oleh barang atau jasa yang dapat diperoleh, yang biasa disebut daya beli. Dalam masa inflasi ataupun deflasi, jumlah barang/jasa yang dapat diperoleh berubah dengan nilai uang nominal yang konstan, yang berarti bahwa daya beli Rupiah berubah. Dengan adanya laporan tambahan ini tujuan dari pelaporan akuntansi dapat dipenuhi, yaitu sebagai rujukan untuk membuat keputusan yang tepat.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara berkembang. Masalah umum yang sering dihadapi negara berkembang adalah tingginya tingkat inflasi. Sejak krisis moneter tahun 1998, harga-harga di pasaran cenderung naik. Tahun 2007 saja tingkat inflasi di Indonesia adalah 6,59 persen. Hal ini bisa diartikan bahwa aktiva yang dimiliki harganya akanberkurang sebesar 6.59 persen sedangkan pendapatan dinilai terlalu tinggi sebesar angka yang sama.
Pada saat ini pasar modal menjadi primadona yang dipilih investor untuk meninvestasikan modalnya. Namun untuk menginvestasikan modal dalam saham tidak semudah membalik telapak tangan. Investor harus mengetahui kemampulabaan perusahaan yang akan dibeli sahamnya. Bagaimana ketahanan suatu perusahaan dalam menghadapi persaingan dan moneter yang sulit diprediksi. Informasi mengenai suatu perusahaan yang menjual sahamnya di pasar modal dapat diketahui melaluilaporan keuangannya.
Laporan keuangan merupakan informasi yang penting bagi pengguna laporan keuangan dalam rangka menilai kinerja keuangan perusahaan secara keseluruhan. Informasi laporan keuangan dianggap memiliki nilai kualitas informasi jika memenuhi dua unsur yaitu dapat diandalkan (reliable) dan relevance bagi pengguna laporan keuangan. Uniknya pencatatan Akuntansi Indonesia menganut system akuntasi konvesional dimana laporan keuangan disajikan berdasarkan nilai histories (Historical Cost) yang mengasumsikan bahwa harga-harga (unit moneter) adalah stabil. Akuntansi konvensional tidak mengakui adanya perubahan tingkat harga umum maupun perubahan tingkat harga khusus. Sebagai konsekuensinya, jika terjadi perubahan daya beli seperti pada periode inflasi, maka laporan keuangan jika kita kembali kepada penjelasan di paragraph sebelumnya secara ekonomis tidaklah relevan. Untuk mengatasi hal ini akuntansi inflasi menjadi suatu pedoman yang dapat diandalkan dalam menganalisa laporan keuangan suatu perusahaan. Dalam paper iniakunansi inflasi yang dibahas adalah General Price Level Accounting (GPLA).
LANDASAN TEORITIS
A. Inflasi
Banyak study mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik. Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu :
1. Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis. Hal ini dikarenakan
pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan
teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sektor pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.
2. Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor
yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik bahan baku, input antara; maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya demonstration effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju
pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.
3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan
rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money). Dengan adanya structural bottlenecks ini, dapat memperparah inflasi di Negara berkembang dalam jangka panjang, oleh karenanya fenomena inflasi di Negaranegara yang sedang berkembang kadangkala menjadi suatu fenomena jangka panjang, yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek.
B. Historical Cost
Sudah dibahas pada pendahuluan bahwa dunia usaha pada umumnya selalu mendasarkan diri pada historical cost yaitu asumsi adanya stable monetary unit yang mengakibatkan semua transaksi yang terjadi dicatat atas dasar nilai historis atau nilai yang didapat saat terjadi transaksi. Di sisi lain disadari pula bahwa stable monetary unit tersebut pada kenyataannya tidak ada, apalagi pada Negara yang menganut ekonomi terbuka seperti Indonesia. Penggunaan nilai historis dalam akuntansi finansial disebabkan karena beberapa alasan:
1. Relevan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Bagi manajer dalam membuat keputusan masa depan diperlukan data transaksi masa lalu.
2. Nilai historis yang berdasarkan data obyektif dapat dipercaya, dapat diaudit dan lebih sulit untuk memanipulasi bila dibandingkan dengan nilai yang lain seperti
current cost ataupun replecement cost.
3. Karena telah disepakati berlakunya prinsip akuntansi pada penggunaan nilai historis memudahkan untuk melakukan perbandingan baik antara industri maupun antar waktu untuk suatu industri.
Kelemahan penggunaan nilai historis antara lain:
1. Adanya pembebanan biaya yang terlalu kecil karena pendapatan untuk suatu hal
tertentu pada saat tertentu akan dibebani biaya yang didasarkan pada suatu nilai uang yang telah ditetapkan beberapa periode yang lalu pada saat pencatatan terjadinya biaya tersebut.
2. Nilai aktiva yang dicatat dalam neraca akan mempunyai nilai yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan perkembangan harga daya beli uang terakhir. Di samping itu juga terjadi perubahan-perubahan kurs yang cepat atas aktiva dan. pasiva dalam valuta asing yang dikuasai perusahaan sehingga mengalami kesulitan dalam perhitungan selisih kurs yang tepat
3. Alokasi biaya untuk depresiasi, amortisasi akan dibebankan terlalu kecil dan mengakibatkan laba dihitung terlalu besar.
4. Laba/rugi yang terjadi yang dihasilkan oleh perhitungan laba/rugi yang didasarkan
pada asumsi adanya stable monetary unit tersebut tidaklah riil apabila diukur dengan perkembangan daya beli uang yang sedang berlangsung.
5. Adanya stable monetary unit. Perusahaan tidak akan memperahankan real capitalnya dan ada kecenderungan terjadinya kanibalisme terhadap modal sehubungan
dengan pembayaran pajak perseroan dan pembangian laba yang lebih besar daripada semestinya.
6. Menyalahi mathematical principle karena berbagai himpunan yang tidak sama dijumlahkan menjadi satu.
7. Di samping hal-hal di atas akan timbul kesulitan-kesulitan bagi manajemen perusahaan apabila harus mendasarkan pada laporan akuntansi yang disusun atas dasar asumsi
C.General Price Level Accounting (GPLA)
Di Indonesia, General Price Level accounting dikenal sebagai Akuntansi tingkat harga umum menyatakan bahwa nilai sesungguhnya dari Rupiah (disingkat Rp) ditentukan oleh barang atau jasa yang dapat diperoleh, yang biasa disebut daya beli. Dalam masa inflasi ataupun deflasi, jumlah barang/jasa yang dapat diperoleh berubah dengan nilai uang nominal yang konstan, yang berarti bahwa daya beli Rupiah berubah. Akuntansi tingkat harga umum akan mengadakan penyajian kembali komponen-komponen laporan keuangan ke dalam Rupiah pada tingkat daya beli yang sama, namun sama sekali tidak mengubah prinsip-prinsip akuntansi yang digunakan dalam akuntansi berdasarkan nilai histories.
Penyesuaian atas besaran keuangan untuk inflasi guna mencerminkan nilai harga umum atau tingkat harga umum dan penggunaan nilai yang telah disesuaikan tersebut dalam akuntansi. Perubahan tingkat harga umum dapat dihitung atau diukur dengan indeks harga. Indeks harga yang biasa digunakan adalah indeks harga konsumen, yaitu
suatu indeks yang menyajikan perubahan periodic dalam biaya kelompok barangbarang
terpilih yang dibeli konsumen yang digunakan sebagai ukuran inflasi. Penyusunan berdasarkan nilai historis disesuaikan menjadi berdasarkan tingkat harga umum dapat dilakukan dengan mengkonversikan nilai historis dengan factor konversi menjadi tingkat harga umum, dengan rumusan sebagai berikut:
Faktor Konversi = Indeks Sekarang
Indeks Tahun Dasar
Dalam penyusunan berdasarkan tingkat harga umum perlu diperhatikan pos-pos yang
akan terpengaruh dengan adanya penurunan daya beli Rupiah, yaitu:
1. Monetery assets, seperti kas ditangan, surat-surat berharga, dan pos-pos piutang dan lain-lain yang sifatnya sebagai dormant account akan mengalami pengaruh penurunan daya beli secara berarti karena rekening-rekening tersebut tidak dapat lagi dinilai (di-appraisal)
2. Non monetary assets secara riil tidak mengalami pengaruh penurunan daya beli, tetapi dari sudut akuntansi merupakan pos yang terkena pengaruh penurunan harga beli. Akan tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah yang serius karena rekening-rekenig tersebut dapat dinilai.
3. Assets dalam bentuk valuta asing tidak dipengaruhi oleh penurunan daya beli Rupiah karena dapat dinilai dengan kurs yang terakhir. Kontroversi yang berkaitan dengan kerelevanan GPLA telah dan masih berlangsung hingga saat ini. Sejumlah argumentasi yang mendukung telah dikembangkan (Richard & Myrtle 1995):
1. Laporan keuangan yang tidak disesuaikan dengan tingkat harga umum atau dengan kata lain disajikan berdasarkan nilai historis tidak mencerminkan perubahan kemampuan atau daya beli (purchasing power) dari bermacam-macam aset dan klaim dalam perusahaan. Sedangkan laporan yang disajikan berdasarkan tingkat harga umum menyajikan data yang mencerminkan purchasing power dari aset dan klaim dalam mata uang tertentu pada akhir periode.
2. Conventional historical-cost accounting tidak mengukur pendapatan (income) dengan sewajarnya sebagai hasil matching Rupiah dalam laporan laba rugi. Beban-beban yang telah terjadi pada periode sebelumnya dikontrakan dengan pendapatan-pendapatan yang umumnya dicerminkan dalam nilai Rupiah tertentu pada saat ini. General price-level accounting menyediakan konsep matching pendapatan dan beban yang lebih baik karena menggunakan nilai uang konstan (common value).
3. General price-level accounting relatif mudah diterapkan. Hanya sekedar mengganti “nilai lama” dengan “nilai saat ini”. General price-level accounting mencerminkan konsep terakhir dari Prinsip Akuntansi Umum (General Accepted Accounting Principles). Sebagai akibatnya, dirasa relatif lebih obyektif dan dapat diuji kebenarannya. Karakteristik tersebut yang menyebabkan general price-level accounting lebih dapat diterima dibanyak perusahaan dibanding current-value accounting.
4. General price-level accounting menyediakan informasi yang relevan bagi manajemen dalam evaluasi dan penggunaannya. Jadi laba dan rugi berdasarkan tingkat harga umum dihasilkan dari penanganan item-item moneter yang merefleksikan respon manajemen terhadap inflasi. Pada akhirnya, general pricelevel accounting menyajikan pengaruh inflasi secara umum terhadap laba dan menyediakan hasil investasi (rate of returns) yang lebih realistis. Relevansi lebih berkepentingan dengan masa sekarang dan masa mendatang, karena itu informasi yang didasarkan pada nilai historis dianggap kurang relevan untuk tujuan engambilan keputusan khususnya dalam kondisi ekonomi yang cenderung engalami inflasi. isisi lain, penolakan terhadap general price-level accounting didasarkan pada eberapa argumentasi berikut ini:
1. Kebanyakan studi empiris mengindikasikan bahwa relevansi dari informasi ingkat harga umum juga lemah atau dengan kata lain tidak dapat diterima. enelitian-penelitian elanjutnya diharapkan lebih dapat memberikan jaminan ebelum adanya kesimpulan yang dapat dicapai sehubungan dengan tingkat elevansi informasi tingkat harga umum dan kemampuan untuk engintepretasikan hal tersebut secara penuh.
2. Tingkat harga umum merubah rekening hanya untuk perubahan dalam tingkat arga secara umum dan tidak merubah rekening ke dalam tingkat harga tertentu.Jadi, penanganan laba dan rugi untuk aset-aset non-moneter tidak diakui dan para penguna data yang disesuaikan pada tingkat harga umum mungkin mempercayai bahwa bahan nlai-nilai telah berkorespondensi dengan nilai-nilai saat ini.
3. Pengaruh atau akibat adanya inflasi akan berbeda dalam berbagai perusahaan.Perusahaaan-perusahaan yang intensif modal akan lebih dipengaruhi oleh inflasi dbanding dengan perusahaan-perusahaan yang dipenuhi dengan aset-aset jangka pendek.
4. Biaya-biaya diimplementasikan lebih besar dari nilai pokoknya dalam generalprice-level accounting dibanding benefitnya.Beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Financial Accounting Standard Board(FASB) di USA juga masih tidak memberikan kepastian mengenai perlu tidaknya penggunaanrice-level accounting, diantaranya:
1. Statement no.33 yang mengharuskan beberapa perusahaan tertentu untuk
menyajikan informasi tambahan dengan menggunakan general price-level
accounting dan current cost accounting.
2. Statement no.89 menyatakan bahwa informasi tambahan dengan general pricelevel
accounting dan current cost accounting sebaiknya disajikan tetapi tidak diharuskan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia bahwa informasi tambahan
antara lain mengenai pengungkapan pengaruh perubahan harga bersifat tidak mengingkat.
PEMBAHASAN
Laporan keuangan (financial statetment) yang selama ini kita kenal adalah laporan
yang Lebih mengedepankan unsur keandalan (reliabilitas) dari pada relevansinya.
Oleh karena itu, salah satu prinsip penyusunan laporan keuangan digunakan adalah biaya hisis (historical cost accounting). Artinya, laporan keuangan disusun erdasarkan harga perolehannya (historical cost). Konsep ini mengabaikan adanya.
membutuhkan informasi laporan keuangan sehingga tujuan dari pelaporan akuntansi
terpenuhi. Hal ini didasari oleh pernyataan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia
bahwa informasi tambahan antara lain mengenai pengungkapan pengaruh perubahan
harga bersifat tidak mengikat.
Rabu, 06 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar